Mahasiswa bakar bendera Amerika Serikat (AS) |
acehbaru.com | Aceh Utara
– Selembar bendera Amerika dibakar oleh massa yang tergabung dalam
Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat dalam aksi unjuk rasa didepan pintu
utama ExxonMobil APO di Nibong, Aceh Utara. Rabu, 11 Desember 2013, siang.
Pembakaran bendera tersebut dilakukan
mahasiswa binaan akibat terlalu marah dan sangat kecewa dengan
perusahaan gas raksasa asal United States of America (USA) itu, yang sama sekali tidak menjalankan program berkelanjutan (sustainable development) dalam implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk penerapan Good Corporate Governance (GCG) sesuai prinsip triple bottom line “3P” (profit, planet and people) untuk menjaga keseimbangan seluruh stake holder.
Sebagai mana yang diketahui warga binaan Exxon Mobil
seban musim hujan dilanda banjir, harus menggunakan air sungai keruh
untuk keperluan mandi, mencuci bahkan digunakan untuk minum bagi
keluarga miskin. Banyak warga disana yang memilih untuk membeli air yang
higienis untuk keperluan memasak dan minum didepot isiulang.
“Warga pribumi (masyarakat adat) disana
harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari, sementara perusahaan
raksasa menghabiskan ribuan meter kubik (M3) air setiap hari secara
gratis inikan ketimpangan buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki” kata aktivis jaringan komunitas masyarakat ada pase.
Safrizal (26) mahasiswa politik Universitas Malikussaleh mengatakan kenyataan perusahaan gas raksasa dipinggir kampungnya malah sama sekali tidak memerhatikan lingkungan.
Dia mengatakan mulai dari pencemaran limbah mercury di Gampoeng Hueng,
oli tumpah di Gampoeng Ampeh, belum ada penyelesaian. “tidak ada taman
kehati yang sempat dijanjikan KLH
setelah bermusyawarah dengan pihak Exxon, ini juga pembohongan public
yang bakal menjadi musibah besar kedepan” Kata orator dalam aksi demo
Exxon ini.
Dia juga menjelaskan tuntutan mereka
meminta agar ExxonMobil transparan dalam pengelolaan dana CSR. “Exxon
sangat tidak transparan jalan saja sepanjang ± 40 Kilo meter tidak
pernah di aspal dari Cluster IV Kecamatan Matang Kuli sampai ke
Kecamatan Paya Bakong,
Pirak Timu serta Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara, padahal ini
juga kepentingan dia, mereka sangat irit-irit menjaga pengeluaran”
katanya.
Dalam orasinya Safrizal juga mengatakan ExxonMobil untuk memperioritas pendidikan
untuk anak di desa binaan. “faktanya habis manis sepah dibuang,
kesenjangan social disekitar Exxon jadi tanggung jawab siapa?” Tanya
dia.
Badan Pelaksana Jaringan Komunitas
Masyarakat Adat Pase (JKMA Pase) mengatakan selama ini perusahaan
raksasa tersebut masih menjalankan tanggung jawab sosialnya masih
menggunakan program jadul (community development) sehingga program-program “amal baik” perusahaan kapitalis itu cenderung tidak sustainable (berkelanjutan).
“mereka seperti tidak sungguh-sungguh,
tidak memperhitungkan akibat dampak perusahaan terhadap seluruh pemangku
kepentingan dan lingkungan, intinya berdasarkan realita real
dikomunitas bisa dikatakan ExxonMobil gagal mengimplementasikan tanggung
jawab social dan lingkungannya” Kata Marzuki. Rabu, 11 Desember 2013,
sore.
Sekedar untuk dipahami, CSR adalah
perwujudan komitmen kepada keberlajutan (sustainability) perusahaan yang
dicerminkan ke dalam triple bottom line “3P” yaitu profit, planet dan
people. Bahwa keberlangsungan hidup perusahaan hanya akan terjadi
apabila perusahaan menaruh kepedulian terhadap pertumbuhan ekonomi,
kepedulian terhadap pengembangan lingkungan dan kepedulian terhadap
pengembangan sosial. Searah dengan perkembangan, perusahaan bisnis harus
memberikan konstribusi terhadap tiga hal tersebut.
Pada dasarnya keberlanjutan (sustainability)
adalah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan
dan masyarakat. Konsep triple bottom line (3P) kemudian berkembang
dengan adanya ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility. Standar ini juga secara langsung akan memberikan warna baru dalam definisi dan implementasi bentuk CSR.
Meskipun pedoman CSR standard internasional ini
baru akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bisa dijadikan
rujukan. Menurut ISO 26000, CSR sangat berkait dengan tanggung jawab
sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan
kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan
dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh.
Jika melihat rujukan tersebut maka
konsep CSR yang telah dicanangkan dan diimplementasikan akan menjadi
semakin kompleks karena akan mencakup tujuh prinsip CSR yang menjadi
komponen utama, yaitu: the environment, social development, human
rights, organizational governance, labor practices, fair operating
practices, dan consumer issues.
Dengan melihat konsep Triple Bottom Lines
dan mengaikatnya dengan prinsip ISO 26000 tersebut maka konsep 3P
kemudian dapat ditambahkan dengan 4P dengan menambahkannya dengan satu
line tambahan, yakni procedure. Dengan demikian, CSR adalah Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.
Berkait dengan hal tersebut, maka
implementasi CSR dengan konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen
dalam ISO 26000. Konsep planet secara luas akan berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people di dalamnya merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja).
Tetapi lebih jauh akan banyak
bersentuhan dengan kesejahteraan sosial (semisal pemberian jaminan
sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial dan
kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa mencakup konsep (tata
kelola organisasi) organizational governance, Praktek ketenagakerjaan (labor practices), Praktek pelaksanaan yang adil (fair operating practices), dan isu-su konsumen (consumer issues) yang termasuk didalamnya adalah komunitas dan masyarakat.
Hal ini terkait juga dengan bagian development (comdev) yang berbagai istilah banyak dikenal dengan community empowerment developing program, community based resources management, community based development management. Istilah ini berkembang dan diperbaharui seiring dengan berkembangnya teori dan hasil dari proses-proses implementasi community development.
Berkait dengan itu, yang jauh lebih
penting adalah perubahan paradigma karena dari banyak analisa manfaat
faktual yang terjadi adalah banyak program yang telah dipersiapkan
secara mendalam pada akhirnya hanya bermanfaat beberapa tokoh masyarakat
dan tidak mengakar di akar rumput.
Tidak dapat dihindari bahwa kenyataannya
dari segi kepentingan terdapat hubungan yang saling menguntungkan bagi
dua pihak dalam proses comdev. Komunitas lokal mempunyai harapan
kepada perusahaan dalam membantu atau menjadi bagian dari proses mereka
menghadapi masalah yang terjadi. Di sisi lain, perusahaan juga mempunyai
harapan bahwa apa yang dilakukan perusahaan dapat dilihat secara adil
dengan cara pandang bahwa masyarakat juga harus bersifat supportif mendukung aktivitas perusahaan.
Mendukung hal tersebut, maka dua defenisi yang mendukung aplikasi program community development adalah pertama, defenisi dari PBB (1955) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai berikut:
”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi
dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan
sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri”. Kedua,
Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa :
”…locality development merupakan suatu
cara untuk memperkuat warga masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui
pengalaman yang terarah agar mampu melakukan kegiatan berdasarkan
kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri
pula”.
Berdasarkan dari pandangan dan defenisi
tersebut, pihak perusahaan mempunyai kewajiban untuk menggali lebih
dalam hubungan mereka dengan komunitasnya. Kemudian mengindentifikasi
titik-titik yang dianggap kritis dalam menjalin hubungan yang harmonis
dan saling menguntungkan. Dari sini dirumuskan bagaimana perusahaan
merespon kebutuhan serta masalah-masalah yang mereka hadapi.
Langkah-langkah yang kongkrit yang harus dilakukan adalah melakukan analisa kebutuhan komunitas (community need analysis). Dalam melakukan analisa kebutuhan harus diperhatikan benar agar dapat memenuhi kebutuhan (needs), dan bukan sekedar keinginan (wants) yang dapat bersifat superfisial demi pemenuhan sesaat saja.
Analisa harus dilakukan secara mendalam
agar dapat mengggali kebutuhan yang sesungguhnya, bukan berlandaskan
keinginan perusahaan atau keinginan tokoh-tokoh masyarakat saja. Sebagai
bagian dari kearifan lokal Indonesia memiliki pendekatan kultural yang
dikenal dengan nama musyawarah yang dapat dimasukkan dalam proses
eksplorasi kebutuhan dan identifikasi masalah. Musyawarah yang
dilakukan secara ideal wajib melibatkan pihak perusahaan, Pemda, dan
masyarakat.
Musyawarah merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki dalam program community development yang dijalankan, sebagai bagian dari transfer ownership program. Hal yang patut untuk digarisbawahi adalah inti dari community development
yaitu harus mengandung unsur pemberdayaan, dan tidak mendidik mereka
sebagai penerima peminta-minta. Konteks program yang dahulu berbentuk
“bekerja untuk masyarakat” kemudian manjadi “bekerja bersama
masyarakat”.
Archie Carroll menyatakan empat bagian
taksonomi dari CSR dimana perusahaan harus menjalankan bisnisnya melalui
cara-cara yang memenuhi ekspetasi:
Level I: Ekonomi –perusahaan harus mewujudkan tanggung jawab sosial dengan memproduksi barang dan jasa yang dapat menghasilkan keuntungan.
Level II: Hukum –masyarakat berekspetasi bahwa perusahaan mengoperasikan bisnisnya sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
Level III: Etika –tanggung jawab
perusahaan melebihi dari sekedar mematuhi regulasi hukum, melainkan juga
memenuhi norma-norma dan budaya/ adat istiadat yang berlaku.
Level IV: Filantropi –corporate giving
merupakan hal yang bebas ditentukan oleh perusahaan, meskipun
permintaan dari komunitas pemangku kepentingan akan hal ini meningkat.
Dalam menjalankan operasi bisnisnya,
perusahaan harus memprioritaskan tanggung jawab ekonomi (level I) yakni
perusahaan harus beroperasi secara efisien dan menjaga kelangsungannya
dalam jangka panjang sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Perusahaan juga harus menjalankan aktivitas bisnisnya dalam kerangka
hukum yang berlaku (level II) dan secara etis (level III).
Kemudian, filantropi (level IV) menjadi
prioritas terakhir bagi perusahaan. Ketika kegiatan CSR perusahaan
meliputi kegiatan amal (charity) atau filantropi (level IV), konsep ini
lebih berfokus pada menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan untuk
mencapai tujuan hukum (level II) dan etika (level III). Dengan
pertanggung jawaban ini perusahaan bisa menghindari gugatan masyarakat,
memperkuat reputasi dan meningkatkan kepercayaan stakeholder.
Dalam pertanggungjawaban perusahaan,
beberapa hal yang mempengaruhinya meliputi globalisasi, kemampuan
perusahaan global yang seharusnya melakukan aktivitas-aktivitas yang
sebelumnya dilakukan oleh pemerintah setempat, tekanan dari
aktivis-aktivis sosial, meningkatnya perubahan lingkungan yang semakin
dinamis serta meningkatnya sanksi di pasar modal yang memberikan hukuman
bagi perusahaan yang beroperasi tidak sesuai dengan standar etika.
Peningkatan tersebut mendorong CSR menjadi hal penting dalam perusahaan
saat ini.
GCG merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added)
untuk semua stakeholder. Terdapat lima prinsip GCG yang dijadikan
pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability,
Responsibility, Indepandency dan Fairness. CSR berkaitan erat dengan
prinsip Responsibility. Perusahaan tersebut tidak hanya mementingkan
kelangsungan perusahaan pada kepentingan pemegang saham (shareholders)
tetapi dengan penerapan prinsip GCG yaitu responsibility, perusahaan
juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders.
Kebijakan CSR memberikan manfaat kepada
tidak hanya perusahaan, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan.
Corporate responsibilities ada dua. Pertama, yang sifatnya ke dalam atau
internal. Kedua, yang sifatnya mengatur keluar atau eksternal. Kalau
internal menyangkut transparansi, sehingga ada yang namanya Good
Corporate Governance. Di kalangan perusahaan publik diukur dengan
keterbukaan informasi (Untung,2008:9-10).
Adapun corporate responsibility
eksternal, menyangkut lingkungan tempat dimana perusahaan berada.
Pengusaha harus memperhatikan polusi,
limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholder yang ada di luar dapat
dikategorikan, ada masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun
pemerintah. Apabila perusahaan ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat,
perusahaan harus tahu apa yang stakeholder butuhkan. Bukan yang ingin
perusahaan buat. Oleh karena itu, harus terjadi komunikasi sebelum
membuat program. | iha | isb | qitafoundation | kompasiana | Foto: isbahannur |
Sumber: http://www.acehbaru.com
Posting Komentar