Headlines News :

File:Berita Harian Logo.png
Home » » Implementasi CSR ExxonMobil Gagal, Mahasiswa Binaan Protes, Bendera AS Dibakar

Implementasi CSR ExxonMobil Gagal, Mahasiswa Binaan Protes, Bendera AS Dibakar

Written By Safrizal on Kamis, 12 Desember 2013 | 14.09



Demo Exxon Mahasiswa Bakar bendera AS..
Mahasiswa bakar bendera Amerika Serikat (AS)
acehbaru.com | Aceh Utara – Selembar bendera Amerika dibakar oleh massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat dalam aksi unjuk rasa didepan pintu utama ExxonMobil APO di Nibong, Aceh Utara. Rabu, 11 Desember 2013, siang.
Pembakaran bendera tersebut dilakukan mahasiswa binaan akibat terlalu marah dan sangat kecewa dengan perusahaan gas raksasa asal United States of America (USA) itu, yang sama sekali tidak menjalankan program berkelanjutan (sustainable development) dalam implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk penerapan Good Corporate Governance (GCG) sesuai prinsip triple bottom line “3P” (profit, planet and people) untuk menjaga keseimbangan seluruh stake holder.
Sebagai mana yang diketahui warga binaan Exxon Mobil seban musim hujan dilanda banjir, harus menggunakan air sungai keruh untuk keperluan mandi, mencuci bahkan digunakan untuk minum bagi keluarga miskin. Banyak warga disana yang memilih untuk membeli air yang higienis untuk keperluan memasak dan minum didepot isiulang.
“Warga pribumi (masyarakat adat) disana harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari, sementara perusahaan raksasa menghabiskan ribuan meter kubik (M3) air setiap hari secara gratis inikan ketimpangan buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki” kata aktivis jaringan komunitas masyarakat ada pase.
Safrizal (26) mahasiswa politik Universitas Malikussaleh mengatakan kenyataan perusahaan gas raksasa dipinggir kampungnya malah sama sekali tidak memerhatikan lingkungan. Dia mengatakan mulai dari pencemaran limbah mercury di Gampoeng Hueng, oli tumpah di Gampoeng Ampeh, belum ada penyelesaian. “tidak ada taman kehati yang sempat dijanjikan KLH setelah bermusyawarah dengan pihak Exxon, ini juga pembohongan public yang bakal menjadi musibah besar kedepan” Kata orator dalam aksi demo Exxon ini.
Dia juga menjelaskan tuntutan mereka meminta agar ExxonMobil transparan dalam pengelolaan dana CSR. “Exxon sangat tidak transparan jalan saja sepanjang ± 40  Kilo meter tidak pernah di aspal dari Cluster IV Kecamatan Matang Kuli sampai ke Kecamatan Paya Bakong, Pirak Timu serta Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara, padahal ini juga kepentingan dia, mereka sangat irit-irit menjaga pengeluaran” katanya.
Dalam orasinya Safrizal juga mengatakan ExxonMobil untuk memperioritas pendidikan untuk anak di desa binaan. “faktanya habis manis sepah dibuang, kesenjangan social disekitar Exxon jadi tanggung jawab siapa?” Tanya dia.
Badan Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Pase (JKMA Pase) mengatakan selama ini perusahaan raksasa tersebut masih menjalankan tanggung jawab sosialnya masih menggunakan program jadul (community development) sehingga program-program “amal baik” perusahaan kapitalis itu cenderung tidak sustainable (berkelanjutan).
“mereka seperti tidak sungguh-sungguh, tidak memperhitungkan akibat dampak perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan dan lingkungan, intinya berdasarkan realita real dikomunitas bisa dikatakan ExxonMobil gagal mengimplementasikan tanggung jawab social dan lingkungannya” Kata Marzuki. Rabu, 11 Desember 2013, sore.
Sekedar untuk dipahami, CSR adalah perwujudan komitmen kepada keberlajutan (sustainability) perusahaan yang dicerminkan ke dalam triple bottom line “3P” yaitu profit, planet dan people. Bahwa keberlangsungan hidup perusahaan hanya akan terjadi apabila perusahaan menaruh kepedulian terhadap pertumbuhan ekonomi, kepedulian terhadap pengembangan lingkungan dan kepedulian terhadap pengembangan sosial. Searah dengan perkembangan, perusahaan bisnis harus memberikan konstribusi terhadap tiga hal tersebut.
Pada dasarnya keberlanjutan (sustainability) adalah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Konsep triple bottom line (3P) kemudian berkembang dengan adanya ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility. Standar ini juga secara langsung akan memberikan warna baru dalam definisi dan implementasi bentuk CSR.
Meskipun pedoman CSR standard internasional ini baru akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bisa dijadikan rujukan. Menurut ISO 26000, CSR sangat berkait dengan tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh.
Jika melihat rujukan tersebut maka konsep CSR yang telah dicanangkan dan diimplementasikan akan menjadi semakin kompleks karena akan mencakup tujuh prinsip CSR yang menjadi komponen utama, yaitu: the environment, social development, human rights, organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer issues.
Dengan melihat konsep Triple Bottom Lines  dan mengaikatnya dengan prinsip ISO 26000 tersebut maka konsep 3P kemudian dapat ditambahkan dengan 4P dengan menambahkannya dengan satu line tambahan, yakni procedure. Dengan demikian, CSR adalah Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.
Berkait dengan hal tersebut, maka implementasi CSR dengan konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen dalam ISO 26000. Konsep planet secara luas akan berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people di dalamnya merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja).
Tetapi lebih jauh akan banyak bersentuhan dengan kesejahteraan sosial (semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa mencakup konsep (tata kelola organisasi) organizational governance, Praktek ketenagakerjaan (labor practices), Praktek pelaksanaan yang adil (fair operating practices), dan isu-su konsumen (consumer issues) yang termasuk didalamnya adalah komunitas dan masyarakat.
Hal ini terkait juga dengan bagian development (comdev) yang berbagai istilah banyak dikenal dengan community empowerment developing program, community based resources management, community based development management. Istilah ini berkembang dan diperbaharui seiring dengan berkembangnya teori dan hasil dari proses-proses implementasi community development.
Berkait dengan itu, yang jauh lebih penting adalah perubahan paradigma karena dari banyak analisa manfaat faktual yang terjadi adalah banyak program yang telah dipersiapkan secara mendalam pada akhirnya hanya bermanfaat beberapa tokoh masyarakat dan tidak mengakar di akar rumput.
Tidak dapat dihindari bahwa kenyataannya dari segi kepentingan terdapat hubungan yang saling menguntungkan bagi dua pihak dalam proses comdev. Komunitas lokal mempunyai harapan kepada perusahaan dalam membantu atau menjadi bagian dari proses mereka menghadapi masalah yang terjadi. Di sisi lain, perusahaan juga mempunyai harapan bahwa apa yang dilakukan perusahaan dapat dilihat secara adil dengan cara pandang bahwa masyarakat juga harus bersifat supportif mendukung aktivitas perusahaan.
Mendukung hal tersebut, maka dua defenisi yang mendukung aplikasi program community development adalah pertama, defenisi dari PBB (1955) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai berikut:
”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri”. Kedua, Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa :
”…locality development merupakan suatu cara untuk memperkuat warga masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui pengalaman yang terarah agar mampu melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri pula”.
Berdasarkan dari pandangan dan defenisi tersebut, pihak perusahaan mempunyai kewajiban untuk menggali lebih dalam hubungan mereka dengan komunitasnya. Kemudian mengindentifikasi titik-titik yang dianggap kritis dalam menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Dari sini dirumuskan bagaimana perusahaan merespon kebutuhan serta masalah-masalah yang mereka hadapi.
Langkah-langkah yang kongkrit yang harus dilakukan adalah melakukan analisa kebutuhan komunitas (community need analysis). Dalam melakukan analisa kebutuhan harus diperhatikan benar agar dapat memenuhi  kebutuhan (needs), dan bukan sekedar keinginan (wants) yang dapat bersifat superfisial demi pemenuhan sesaat saja.
Analisa harus dilakukan secara mendalam agar dapat mengggali kebutuhan yang sesungguhnya, bukan berlandaskan keinginan perusahaan atau keinginan tokoh-tokoh masyarakat saja. Sebagai bagian dari kearifan lokal Indonesia memiliki pendekatan kultural yang dikenal dengan nama musyawarah yang dapat dimasukkan dalam proses eksplorasi kebutuhan dan identifikasi masalah.  Musyawarah yang dilakukan secara ideal wajib melibatkan pihak perusahaan, Pemda, dan  masyarakat.
Musyawarah merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki dalam program community development yang dijalankan, sebagai bagian dari transfer ownership program. Hal yang patut untuk digarisbawahi adalah inti dari community development yaitu harus mengandung unsur pemberdayaan, dan tidak mendidik mereka sebagai penerima peminta-minta. Konteks program yang dahulu berbentuk “bekerja untuk masyarakat” kemudian manjadi “bekerja bersama masyarakat”.
Archie Carroll menyatakan empat bagian taksonomi dari CSR dimana perusahaan harus menjalankan bisnisnya melalui cara-cara yang memenuhi ekspetasi:
Level I: Ekonomi –perusahaan harus mewujudkan tanggung jawab sosial dengan memproduksi barang dan jasa yang dapat menghasilkan keuntungan.
Level II: Hukum –masyarakat berekspetasi bahwa perusahaan mengoperasikan bisnisnya sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
Level III: Etika –tanggung jawab perusahaan melebihi dari sekedar mematuhi regulasi hukum, melainkan juga memenuhi norma-norma dan budaya/ adat istiadat yang berlaku.
Level IV: Filantropi –corporate giving merupakan hal yang bebas ditentukan oleh perusahaan, meskipun permintaan dari komunitas pemangku kepentingan akan hal ini meningkat.
Dalam menjalankan operasi bisnisnya, perusahaan harus memprioritaskan tanggung jawab ekonomi (level I) yakni perusahaan harus beroperasi secara efisien dan menjaga kelangsungannya dalam jangka panjang sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. Perusahaan juga harus menjalankan aktivitas bisnisnya dalam kerangka hukum yang berlaku (level II) dan secara etis (level III).
Kemudian, filantropi (level IV) menjadi prioritas terakhir bagi perusahaan. Ketika kegiatan CSR perusahaan meliputi kegiatan amal (charity) atau filantropi (level IV), konsep ini lebih berfokus pada menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan hukum (level II) dan etika (level III). Dengan pertanggung jawaban ini perusahaan bisa menghindari gugatan masyarakat, memperkuat reputasi dan meningkatkan kepercayaan stakeholder.
Dalam pertanggungjawaban perusahaan, beberapa hal yang mempengaruhinya meliputi globalisasi, kemampuan perusahaan global yang seharusnya melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah setempat, tekanan dari aktivis-aktivis sosial, meningkatnya perubahan lingkungan yang semakin dinamis serta meningkatnya sanksi di pasar modal yang memberikan hukuman bagi perusahaan yang beroperasi tidak sesuai dengan standar etika. Peningkatan tersebut mendorong CSR menjadi hal penting dalam perusahaan saat ini.
GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Terdapat lima prinsip GCG yang dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness. CSR berkaitan erat dengan prinsip Responsibility. Perusahaan tersebut tidak hanya mementingkan kelangsungan perusahaan pada kepentingan pemegang saham (shareholders) tetapi dengan penerapan prinsip GCG yaitu responsibility, perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders.
Kebijakan CSR memberikan manfaat kepada tidak hanya perusahaan, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan. Corporate responsibilities ada dua. Pertama, yang sifatnya ke dalam atau internal. Kedua, yang sifatnya mengatur keluar atau eksternal. Kalau internal menyangkut transparansi, sehingga ada yang namanya Good Corporate Governance. Di kalangan perusahaan publik diukur dengan keterbukaan informasi (Untung,2008:9-10).
Adapun corporate responsibility eksternal, menyangkut lingkungan tempat dimana perusahaan berada. Pengusaha harus memperhatikan polusi, limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholder yang ada di luar dapat dikategorikan, ada masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Apabila perusahaan ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, perusahaan harus tahu apa yang stakeholder butuhkan. Bukan yang ingin perusahaan buat. Oleh karena itu, harus terjadi komunikasi sebelum membuat program. | iha | isb | qitafoundation | kompasiana | Foto: isbahannur |
Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © Safrizal. 2014