Headlines News :

File:Berita Harian Logo.png
Home » , , » Kritikan Untuk Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Kritikan Untuk Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Written By Safrizal on Sabtu, 17 November 2012 | 11.17

Oleh Safrizal*
Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh merupakan amanah Memorandum of Understanding (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan  Pemerintah Indonesia yang di tandatangani kedua belah pihak di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu yang tertuang dalam poin 1.1.5 MoU dengan bunyi “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne”.

Kemudian poin 1.1.5 MoU tersebut di masukan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai rujukan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang tertuang dalam BAB XXXVI Pasal 246 ayat (2) UUPA dengan bunyi “Selain bendera merah putih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (merah putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan” dan ayat (3) dengan bunyi “Bendera Aceh  sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh”. Sehingga ayat (4) dengan bunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atur dalam Qanun Aceh yang berpodoman pada peraturan perundang-undangan”.

Sementara mengenai lambang Aceh juga di tegaskan dalam pasal 247 ayat (1) UUPA dengan bunyi “Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan dan ayat (2) dengan bunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dalam Qanun Aceh.

Jadi implementasi bendera dan lambang Aceh sebagaimana disebutkan dalam BAB XXXVI pasal 246 dan pasal 247 UUPA ke dalam Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh adalah amanah dari salah satu kesepakatan lahirnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu melalui proses yang sangat sulit dan memakan waktu yang panjang.

Sehingga Bendera dan lambang Aceh menjadi sebuah simbol kekhususan dan istimewa di Indonesia untuk Aceh sebagai daerah yang diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang undangan dalam system dan prinsip NKRI berdasarkan  UUD NKRI 1945.

Namun setelah penulis baca dan mengkaji klasul-klasul yang terdapat dalam Rancangan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh perlu dipertimbangkan kembali yaitu tentang: 

1
Apakah bendera Aceh sebagaimana disebutkan dalam rancangan Qanun Bendera dan lambang Aceh yang terdapat dalam pasal 4 ayat (1) dengan bunyi “Bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua pertiga) dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam”.

Karna menurut penulis bahwa bendera sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) tersebut persis mirip bendera perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam pergerakan melawan pemerintahan Indonesia demi keadilan dan kemerdekaan Aceh.

Salah satu tokoh sentral yang terus menyuarakan hak rakyat Aceh untuk berdaulat penuh atas dasar sejarahnya yang panjang itu adalah Dr. Teungku Hasan Tiro (almarhum-pen), salah satu murid Teungku Muhammad Daud Beureueh . Hasan Tiro bahkan memilih jalan politik yang lebih radikal di banding gurunya, yakni menuntut kemerdekaan penuh bagi Aceh. Ia bahkan tidak mau lagi mempercayai apapun janji yang dinyatakan pemerintahan Indonesia yang ada di Jakarta. Hasan Tiro justru melakukan berbagai propaganda yang bahkan pada tahun 1976 membentuk angkatan bersenjata yang diberinama “Angkatan Gerakan Aceh Merdeka” (AGAM). (baca buku “Aceh Lon, Damai Aceh Merdeka Abadi”, penerbit Satker sementara BRR-Penguatan Kelembagaan Kominfo, hlm: 38)

Jadi menurut penulis perlu dipertimbangkan kembali BENDERA ACEH beserta tujuanya karena bendera sebagaimana dimaksud tersebut adalah persis mirip bendera dalam memperjuangan kemerdekaan Aceh selama lebih dari 30 tahun, yang kemudian disebutkan dalam BAB I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (11) Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh dengan bunyi “sebagai salah satu simbol pemersatu masyarakat Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh”. Jadi pasal 1 ayat (11) tersebut sama sekali tidak mencerminkan dan bukan untuk menghargai penjuangan bangsa Aceh dalam perjuangan menuntut keadilan dan kemerdekaan dari pemerintah Indonesia untuk mendirikan negara sendiri yang berdaulat, damai, sejahtera, adil, makmur dan demokratis.

Dan TUJUAN BENDERA ACEH sebagaiman disebutkan dalam pasal 3 huruf (a-g) sama sekali tidak menghargai para pejuang kemerdekaan Aceh yang telah gugur selama pergerakan melawan pemerintahan Indonesia, melaikan disebutkan dalam pasal 3 huruf (g) dengan bunyi “Sebagai kilas baru sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Aceh yang serasi, selaras dan seimbang dengan daerah-daerah lain menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera dan bahagia”. Jadi menurut pandangan penulis sejarah yang telah lalu dihitamkan. Dan tujuan bendera Aceh sebagaimana pasal 3 huruf (f) hanya “Untuk  menjungjung tinggi kehormatan dan martabat rakyat Aceh sebagai salah satu pejuang kemerdekaan NKRI”, padahal jelas dalam memperjuangkan kemerdekaan tersebut bendera Aceh sama sekali tidak pernah dibicarakan bahkan tidak pernah digunakan oleh Pemerintah Indonesia baik sebagai penghargaan maupun sebagai simbol daerah, namun yang digunakan adalah bendera merah putuh. Jadi kenapa kita agung-agungkan bendera Aceh sebagai simbol pejuang kemerdekaan Indonesia dan itu sama sekali kita membohongi dan membodohi diri kita sendiri sesama bangsa Aceh serta menenggelamkan sejarah Aceh.

2
Pasal 7 ayat (2) dengan bunyi “Pengibaran Bendera Aceh dilakukan disamping kiri Bendera Merah putih dengan ukuran tinggi tiang 50 cm lebih rendah dari tinggi tiang Bendera Merah Putih”.

Menurut penulis Pengibaran Bendera Aceh seharusnya dapat dilakukan sebelah kanan Bendera Merah Putih karna secara filosofi sebelah kiri bisa ditapsirkan sebagai sayap oposisi yang kemudian seakan-akan sebagai daerah pengemis kepada pemerintahan pusat  yang sebelumnya dikesampingkan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf (f) dengan bunyi “menjungjung tinggi kehormatan dan martabat rakyat Aceh sebagai salah satu pejuang kemerdekaan NKRI”.

Secara historis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki modal dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan eropa (Belanda). Namun setelah Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia juga mengambil Sumber Daya Alam Aceh (SDA) sebagai salah satu sumber pendapatan nasional untuk pemerataan ekonomi dan pembangunan infrastruktur dll. Jadi sangat wajar bendera Aceh mendapingi Bendera Indonesia sebelah kanan tidak sebelah kiri.

Dalam hal pengibaran bendera ini penulis tidak bermaksud mendukung dan tidak mendukung bendera Aceh sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1), melaikan sebagai saran dalam konsep pengibaran. serta

3
BAB III pasal 17 huruf (g) dengan bunyi “Huruf ta, dalam tulisan aksara Arab  bermakna yang menjadi pemimpin Aceh adalah umara dan ulama yang berasal dari Tuanku, Teuku dan Teungku”.

Dasar huruf ta dalam lambang ? Harus diperjelas untuk apa, bagaimana, kenapa, siapa, kapan dan dimana ?.

Menurut penulis pemimpin Aceh adalah gubernur dan itu berdasarkan UUPA pasal 1 ayat (2) dan pasal 67 ayat (2) tentang persyaratan calon Gubernur Aceh yang salah satunya adalah huruf (a) dengan bunyi “Warga negara Republik Indonesia”, jadi pasal 17 huruf (g) rancangan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut bertolak belakang dengan UUPA.


Demikian pandangan penulis sebagai saran dalam perumusan rancangan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh dengan harapan dapat dipertimbangkan kembali. Wallahu’alam….

Safrizal adalah (Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Malikussaleh – HIMIPOL UNIMAL)
Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © Safrizal. 2014