Oleh Safrizal*
Qanun Aceh tentang
Bendera dan Lambang Aceh merupakan amanah Memorandum of Understanding (MoU)
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
Pemerintah Indonesia yang di tandatangani kedua belah pihak di Helsinki,
Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu yang tertuang dalam poin 1.1.5
MoU dengan bunyi “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah
termasuk bendera, lambang dan himne”.
Kemudian poin
1.1.5 MoU tersebut di masukan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai rujukan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh
yang tertuang dalam BAB XXXVI Pasal 246 ayat (2) UUPA dengan bunyi “Selain
bendera merah putih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (merah putih adalah bendera
nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan
menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan
dan kekhususan” dan ayat (3) dengan bunyi “Bendera Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai
bendera kedaulatan di Aceh”. Sehingga ayat (4) dengan bunyi “ketentuan lebih
lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
di atur dalam Qanun Aceh yang berpodoman pada peraturan perundang-undangan”.
Sementara mengenai
lambang Aceh juga di tegaskan dalam pasal 247 ayat (1) UUPA dengan bunyi “Pemerintah
Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan dan
ayat (2) dengan bunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai lambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) di atur dalam Qanun Aceh.
Jadi implementasi bendera
dan lambang Aceh sebagaimana disebutkan dalam BAB XXXVI pasal 246 dan pasal 247
UUPA ke dalam Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh adalah amanah dari salah
satu kesepakatan lahirnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu melalui
proses yang sangat sulit dan memakan waktu yang panjang.
Sehingga Bendera
dan lambang Aceh menjadi sebuah simbol kekhususan dan istimewa di Indonesia
untuk Aceh sebagai daerah yang diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang undangan dalam system dan prinsip NKRI berdasarkan UUD NKRI 1945.
Namun setelah penulis
baca dan mengkaji klasul-klasul yang terdapat dalam Rancangan Qanun Aceh
tentang Bendera dan Lambang Aceh perlu dipertimbangkan kembali yaitu tentang:
1
|
Apakah bendera Aceh sebagaimana disebutkan
dalam rancangan Qanun Bendera dan lambang Aceh yang terdapat dalam pasal 4
ayat (1) dengan bunyi “Bendera Aceh berbentuk empat
persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua pertiga) dari panjang, dua buah garis
lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu
garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian
tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam”.
Karna menurut penulis bahwa
bendera sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) tersebut persis
mirip bendera perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam pergerakan melawan
pemerintahan Indonesia demi keadilan dan kemerdekaan Aceh.
Salah satu tokoh sentral yang
terus menyuarakan hak rakyat Aceh untuk berdaulat penuh atas dasar sejarahnya
yang panjang itu adalah Dr. Teungku Hasan Tiro (almarhum-pen), salah satu
murid Teungku Muhammad Daud Beureueh . Hasan Tiro bahkan memilih jalan
politik yang lebih radikal di banding gurunya, yakni menuntut kemerdekaan
penuh bagi Aceh. Ia bahkan tidak mau lagi mempercayai apapun janji yang dinyatakan
pemerintahan Indonesia yang ada di Jakarta. Hasan Tiro justru melakukan
berbagai propaganda yang bahkan pada tahun 1976 membentuk angkatan bersenjata
yang diberinama “Angkatan Gerakan Aceh
Merdeka” (AGAM). (baca buku “Aceh Lon,
Damai Aceh Merdeka Abadi”, penerbit Satker sementara BRR-Penguatan Kelembagaan
Kominfo, hlm: 38)
Jadi menurut penulis perlu
dipertimbangkan kembali BENDERA ACEH beserta tujuanya karena bendera
sebagaimana dimaksud tersebut adalah persis mirip bendera dalam memperjuangan
kemerdekaan Aceh selama lebih dari 30 tahun, yang kemudian disebutkan dalam BAB
I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (11) Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh
dengan bunyi “sebagai salah satu simbol pemersatu masyarakat Aceh sebagai lambang
yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh”. Jadi pasal 1 ayat (11) tersebut
sama sekali tidak mencerminkan dan bukan untuk menghargai penjuangan bangsa
Aceh dalam perjuangan menuntut keadilan dan kemerdekaan dari pemerintah Indonesia
untuk mendirikan negara sendiri yang berdaulat, damai, sejahtera, adil,
makmur dan demokratis.
Dan TUJUAN BENDERA ACEH
sebagaiman disebutkan dalam pasal 3 huruf (a-g) sama sekali tidak menghargai para
pejuang kemerdekaan Aceh yang telah gugur selama pergerakan melawan
pemerintahan Indonesia, melaikan disebutkan dalam pasal 3 huruf (g) dengan
bunyi “Sebagai kilas baru sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Aceh yang
serasi, selaras dan seimbang dengan daerah-daerah lain menuju keadaan yang
damai, adil, makmur, sejahtera dan bahagia”. Jadi menurut pandangan penulis sejarah
yang telah lalu dihitamkan. Dan tujuan bendera Aceh sebagaimana pasal 3 huruf
(f) hanya “Untuk menjungjung tinggi kehormatan
dan martabat rakyat Aceh sebagai salah satu pejuang kemerdekaan NKRI”,
padahal jelas dalam memperjuangkan kemerdekaan tersebut bendera Aceh sama
sekali tidak pernah dibicarakan bahkan tidak pernah digunakan oleh Pemerintah
Indonesia baik sebagai penghargaan maupun sebagai simbol daerah, namun yang
digunakan adalah bendera merah putuh. Jadi kenapa kita agung-agungkan bendera
Aceh sebagai simbol pejuang kemerdekaan Indonesia dan itu sama sekali kita membohongi
dan membodohi diri kita sendiri sesama bangsa Aceh serta menenggelamkan
sejarah Aceh.
|
2
|
Pasal
7 ayat (2) dengan bunyi “Pengibaran Bendera Aceh dilakukan disamping kiri
Bendera Merah putih dengan ukuran tinggi tiang 50 cm lebih rendah dari tinggi
tiang Bendera Merah Putih”.
Menurut
penulis Pengibaran Bendera Aceh seharusnya dapat dilakukan sebelah kanan Bendera
Merah Putih karna secara filosofi sebelah kiri bisa ditapsirkan sebagai sayap
oposisi yang kemudian seakan-akan sebagai daerah pengemis kepada pemerintahan
pusat yang sebelumnya dikesampingkan. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 huruf (f) dengan bunyi “menjungjung tinggi kehormatan
dan martabat rakyat Aceh sebagai salah satu pejuang kemerdekaan NKRI”.
Secara
historis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Aceh merupakan salah satu
daerah yang memiliki modal dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari
penjajahan eropa (Belanda). Namun setelah Indonesia merdeka, Pemerintah
Indonesia juga mengambil Sumber Daya Alam Aceh (SDA) sebagai salah satu sumber
pendapatan nasional untuk pemerataan ekonomi dan pembangunan infrastruktur
dll. Jadi sangat wajar bendera Aceh mendapingi Bendera Indonesia sebelah
kanan tidak sebelah kiri.
Dalam
hal pengibaran bendera ini penulis tidak bermaksud mendukung dan tidak
mendukung bendera Aceh sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1),
melaikan sebagai saran dalam konsep pengibaran. serta
|
3
|
BAB
III pasal 17 huruf (g) dengan bunyi “Huruf ta, dalam tulisan aksara Arab
bermakna yang menjadi pemimpin Aceh adalah umara dan ulama yang
berasal dari Tuanku, Teuku dan Teungku”.
Dasar
huruf ta dalam lambang ? Harus diperjelas untuk apa, bagaimana,
kenapa, siapa, kapan dan dimana ?.
Menurut
penulis pemimpin Aceh adalah gubernur dan itu berdasarkan UUPA pasal 1 ayat
(2) dan pasal 67 ayat (2) tentang persyaratan calon Gubernur Aceh yang salah
satunya adalah huruf (a) dengan bunyi “Warga negara Republik Indonesia”, jadi
pasal 17 huruf (g) rancangan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut
bertolak belakang dengan UUPA.
|
Demikian pandangan
penulis sebagai saran dalam perumusan rancangan Qanun Aceh tentang Bendera dan
Lambang Aceh dengan harapan dapat dipertimbangkan kembali. Wallahu’alam….
Posting Komentar